PornDewasaX3 - Aku adalah mahasiswa arsitektur tingkat akhir di sebuah universitas swasta di kota Bandung, dan sudah saatnya melaksanakan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan. Beruntung, aku kebagian seorang dosen tang santai dan kebetulan adalah seorang ibu. Asna namanya, usianya 30 thn cerdas dan cantik
Cukup sulit utk menggambarkan kejelitaan sang ibu. Bersuami seorang dosen pula yg kebetulan adalah favorit anak-anak karena moderat dan sangat akomodatif. Singkat kata banyak teman-temanku yg sedikit iri mengetahui aku kebagian pembimbing Ibu Asna.
“Dasar lu… enak amat kebagian ibu yg cantik jelita…” Kalau sudah begitu aku hanya tersenyum kecil, toh bisa apa sih pikirku.
Proses asistensi dengan Ibu Asna sangat mengasyikan, sebab selain beliau berwawasan luas, aku jg disuguhkan kemolekan tubuh dan wajah beliau yg diam-diam kukagumi. Makanya dibanding teman-temanku termasuk rajin berasistensi dan progres gambarku lumayan pesat. Setiap asistensi membawa kami berdua semakin akrab satu sama lain. Bahkan suatu saat, aku membawakan beberapa kuntum bunga aster yg kutahu sangat disukainya. Sambil tersenyum dia berucap,
“Kamu mencoba merayu Ibu, Ben?”
Aku ingat wajahku waktu itu langsung bersemu merah dan utk menghilangkan grogiku, aku langsung menggelar gambar dan bertanya sana-sini. Tp tak urung kuperhatikan ada binar bahagia di mata beliau. Setelah kejadian itu setiap kali asitensi aku sering mendapati beliau sedang menatapku dengan pandangan yg entah apa artinya, beliau makin sering curhat tentang berbagai hal. Asistensi jadi ngelantur ke bermacam subyek, dari masalah di kantor dosen hingga anak tunggalnya yg baru saja mengeluarkan kata pertamanya. Sesungguhnya aku menyukai perkembangan ini namun tak ada satu pun pikiran aneh di benakku karena hormat kepada beliau.
Hingga… pada saat kejadian. Suatu malam aku asistensi sedikit larut malam dan beliau memang masih ada di kantor pukul 8 malam itu. Yg pertama terlihat adalah mata beliau yg indah itu sedikit merah dan sembab. “Wah, saat yg buruk nih”, pikirku. Tp dia menunjuk ke kursi dan sedikit tersenyum jadi kupikir tak apa-apa bila kulanjutkan. Setelah segala proses asistensi berakhir aku membeAsnakan diri bertanya, “Ada apa Bu? Kok kelihatan agak sedih?”
Kelam menyelimuti lagi wajahnya meski berusaha disembunyikannya dengan senyum manisnya.
“Ah biasalah Ben, masalah.”
Ya sudah kalau begitu aku segera beranjak dan membereskan segala kertasku. Dia terdiam lama dan saat aku telah mencapai pintu, barulah…
“Kaum Pria memang selalu egois ya Beni?”
Aku berbalik dan setelah berpikir cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan bertanya hati-hati.
“Kalau boleh saya tahu, kenapa Ibu berkata begitu? Sebab setahu saya perempuan memang selalu berkata begitu, tp saya tdk sependapat karena certain individual punya ego-nya sendiri-sendiri, dan tdk bisa digolongkan dalam suatu stereotype tertentu.”
Matanya mulai hidup dan kami beradu argumen panjang tentang subyek tersebut dan ujung-ujungnya terbukalah rahasia perkawinannya yg selama ini mereka sembunyikan. Iya, bahwa pasangan tersebut kelihatan harmonis oleh kami mahasiswa, mereka kaya raya, keduanya berparas good looking, dan berbagai hal lain yg bisa membuat pasangan lain iri melihat keserasian mereka. Namun semua itu menutupi sebuah masalah mendasar bahwa tdk ada cinta diantara mereka. Mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka yg konservatif dan selama ini keduanya hidup dalam kepalsuan. Hal ini diperburuk oleh kasarnya perlakuan Pak Indra (suami beliau) di rumah terhadap Bu Asna (fakta yg sedikit membuatku terhenyak, ugh betapa palsunya manusia sebab selama ini di depan kami beliau terlihat sebagai sosok yg care dan gentle).
Singkat kata beliau sambil terisak menumpahkan isi hatinya malam itu dan itu semua membuat dia sedikit lega, serta membawa perasaan aneh bagiku, membuat aku merasa penting dan dekat dengan beliau. Kami memutuskan utk jalan malam itu, ke Lembang dan beliau memberi kehormatan bagiku dengan ikut ke sedan milikku. Sedikit gugup kubukakan pintu untuknya dan tergesa masuk lalu mengendarai mobil dengan ekstra hati-hati. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam sambil menikmati gubahan karya Chopin yg mengalun lembut lewat stereo. Kucoba sedikit bercanda dan menghangatkan suasana dan nampaknya lumayan berhasil karena beliau bahkan sudah bisa tertawa terbahak-bahak sekarang.
“Kamu pasti sudah punya pacar ya Beni?”
“Eh eh eh”, aku gelagapan.
Iya sih emang, bahkan ada beberapa, namun tentu saja aku tak akan mengakui hal tersebut di depannya.
“Nggak kok Bu… belum ada… mana laku aku, Bu…” balasku sambil tersenyum lebar.
“Huuu, bohong!” teriaknya sambil dicubitnya lengan kiriku.
“Cowok kayak kamu pasti playboy deh… ngaku aja!”
Aku tdk bisa menjawab, kepalaku masih dipenuhi fakta bahwa beliau baru saja mencubit lenganku. Ugh, alangkah berdebar dadaku dibuatnya. Beda bila teman wanitaku yg lain yg mencubit.
Larut malam telah tiba dan sudah waktunya beliau kuantar pulang setelah menikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Daerah Dago Pakar tujuannya dan saat itu sudah jam satu malam ketika kami berdua mencapai gerbang rumah beliau yg eksotik.
“Mau nggak kamu mampir ke rumahku dulu, Ben?” ajaknya.
“Loh apa kata Bapak entar Bu?” tanyaku.
“Ah Bapak lagi ke Kupang kok, penelitian.”
Hm… benakku ragu namun senyum manis yg menghiasi bibir beliau membuat bibirku berucap mengiyakan. Aku mendapati diriku ditarik-tarik manja oleh beliau ke arah ruang tamu di rumah tersebut akan tetapi benakku tak habis berpikir,
“Duh ada apa ini?”
Sesampainya di dalam,
“Sst… pelan-pelan ya… Detty pasti lagi lelap.” Kami beringsut masuk ke dalam kamar anaknya dan aku hanya melihat ketika beliau mengecup kening putrinya yg manis itu pelan.
Kami berdua bergandengan memasuki ruang keluarga dan duduk bersantai lalu mengobrol lama di sana. Beliau menawarkan segelas orange juice. “Aduh, apa yg harus aku lakukan”, pikirku.
Entah setan mana yg merasuk diriku ketika beliau hendak duduk kembali di karpet yg tebal itu, aku merengkuh tubuhnya dalam sekali gerakan dan merangkulnya dalam pangkuanku. Beliau hanya terdiam sejenak dan berucap,
“Kita berdua telah sama-sama dewasa dan tahu kemana ini menuju bukan?” Aku tak menjawab hanya mulai membetulkan uraian rambut beliau yg jatuh tergerai dan membawa tubuh moleknya semakin erat ke dalam pelukanku, dan kubisikkan di telinganya, “Beni sangat sayang dan hormat pada Ibu, oleh karenanya Beni tak akan berbuat macam-macam.” Ironisnya saat itu sesuatu mendesakku utk mengecup lembut cuping telinga dan mengendus leher hingga ke belakang kupingnya.
Kulihat sepintas beliau menutup kelopak matanya dan mendesah lembut.
“Kau tahu aku telah lama tdk merasa seperti ini Ben…” Kebandelanku meruyak dan aku mulai menelusuri wajah beliau dengan bibir dan lidahku dengan sangat lembut dan perlahan.
Setiap sentuhannya membuat sang ibu merintih makin dalam dan beliau merangkul punggungku semakin erat. Kedua tanganku mulai nakal merambah ke berbagai tempat di tubuh beliau yg mulus wangi dan terawat.
Aku bukanlah pecinta ulung, infact saat itu aku masih perjaka namun cakupan wawasanku tentang seks sangat luas.
“Tunggu ya Ben… ibu akan bebersih dulu.” Ugh apa yg terjadi, aku tersadar dan saat beliau masuk ke dalam, tanpa pikir panjang aku beranjak keluar dan segara berlari ke mobil dan memacunya menjauh dari rumah Ibu Ir. Asna dosenku, sebelum segalanya telanjur terjadi. Aku terlalu menghormatinya dan… ah pokoknya berat bagiku utk mengkhianati kepercayaan yg telah beliau berikan jg suaminya. Sekilas kulihat wajah ayu beliau mengintip lewat tirai jendela namun kutegaskan hatiku utk memacu mobil dan melesat ke rumah Vani.
Sepanjang perjalanan hasrat yg telah terbangun dalam diriku memperlihatkan pengaruhnya. Aku tak bisa konsentrasi, segala rambu kuterjang dan hanya dewi fortuna yg bisa menyebabkan aku sampai dengan selamat ke pavilyun Vani. Vani adalah seorang gadis yg aduhai seksi dan menggairahkan, pacar temanku. Namun sejak dulu dia telah mengakui kalau Vani menyukaiku. Bahkan dia telah beberapa kali berhasil memaksa utk bercumbu denganku. Hal yg kupikir tak ada salahnya sebagai suatu pelatihan buatku. Aku mengetuk pintu kamar paviliunnya tanpa jawaban, kubuka segera dan Vani sedang berjalan ke arahku,
“Sendirian?” tanyaku. Vani hanya mengangguk dan tanpa banyak ba bi bu, aku merangsek ke depan dan kupagut bibirnya yg merah menggemaskan.
Kami berciuman dalam dan bernafsu. “Kenapa Ben?” di sela-sela ciuman kami, Vani bertanya, aku tak menjawab dan kuciumi dengan buas leher Vani, hingga dia gelagapan dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu sementara tangan kiriku dengan cekatan mendekap Vani makin erat dalam pelukanku. “Brak!” kurengkuh Vani, kuangkat dan kugendong ke arah kasur.
“Ugh buas sekali kamu Ben…” Sebuah senyum aneh menghiasi wajah Vani yg jelita.
Kurebahkan Vani dan kembali kami berpagutan dalam adegan erotis yg liar dan mendebarkan. Aku bergeser ke bawah dan kutelusuri kaki Vani yg jenjang dengan bibirku dan kufokuskan pada bagian paha dalamnya. Kukecup mesra betis kanannya. Vani hanya mengerang keenakan sambil cekikikan lirih karena geli. Kugigit-gigit kecil paha yg putih dan mulus memikat itu sambil tanganku tak henti membelai dan merangsang Vani dengan gerakan-gerakan tangan dan jari yg memutar-mutar pada payudaranya yg seksi dan ranum. Dengan sekali tarik, piyama yg dikenakannya terlepas dan kulemparkan ke lantai, sementara aku bergerak menindih Vani.
Kami saling melucuti hingga tak ada sehelai benang pun yg menjadi pembatas tarian kami yg makin lama makin liar. “Beni ahhh… Beni… Beni…” Vani terus berbisik lirih ketika kukuakkan kedua kakinya dan aku menuju kewanitaannya yg membukit menantang. Kusibakkan rambut pubic-nya yg lebat namun rapih dan serta merta aromanya yg khas menyeruak ke hidungku. Bentuknya begitu menantang sehingga entah kenapa aku langsung menyukainya. Kuhirup kewanitaan Vani dengan keras dan lidahku mulai menelusuri pinggiran labia minora-nya yg telah basah oleh cairan putih bening dengan wangi pheromone menggairahkan. Kubuka kedua labia-nya dengan jemariku dan kususupkan lidahku pelan diantaranya menyentuh klitorisnya yg telah membesar dan kemerahan.
“Aaagh…” Vani menjerit tertahan, sensasi yg dirasakannya begitu menggelora dan semakin membangkitkan semangatku.
Detik itu jg aku memutuskan utk melepas status keperjakaanku yg entah apalah artinya. Sejenak pikiranku melambung pada Ibu Asna, ah apa yg terjadi besok? Kubuang jauh-jauh perasaan itu dan kupusatkan perhatianku pada gadis cantik molek yg terbaring pasrah dan menantang di hadapanku ini. Vani pun okelah. Malam ini aku akan bercinta dengannya. Dengan ujungnya yg kuruncingkan aku menotol-notolkan lidahku ke dalam kewanitaan Vani hingga ia melenguh keras panjang dan pendek.
Lama, aku bermain dengan berbagai teknik yg kupelajari dari buku. Benar kata orang tua, membaca itu baik utk menambah pengetahuan. Kuhirup semua cairan yg keluar darinya dan semakin dalam aku menyusupkan lidahku menjelajahi permukaan yg lembut itu semakin keras lenguhan yg terdengar dari bibir Vani. Aku naik perlahan dan kuciumi pusar, perut dan bagian bawah payudaranya yg membulat tegak menantang. Harus kuakui tubuh molek Vani, pacar temanku ini sungguh indah. Lidahku menjelajahi permukaan beledu itu dengan penuh perasaan hingga sampai ke puting payudaranya yg kecoklatan. Aku berhenti, kupandangi lama hingga Vani berteriak penasaran,
“Ayo Ben… tunggu apa lagi sayang.”
Aku berpaling ke atas, di hadapanku kini wajah putih jelitanya yg kemerahan sambil menggigit bibir bawahnya karena tak dapat menahan gejolak di dadanya. Hmm… pemandangan yg jarang-jarang kudapat pikirku. Tanganku meraih ke samping, kusentuh pelan putingnya yg berdiri menjulang sangat menggairahkan dengan telunjukku.
“Aaah Ben… jangan bikin aku gila, please Ben…” Dengan gerakan mendadak, aku melahap puting tersebut mengunyah, mempermainkan, serta memilinnya dengan lidahku yg cukup mahir.
(Aku tahu Vani sangat sensitif dengan miliknya yg satu itu, bahkan hanya dengan itupun Vani dapat orgasme saat kami sering bercumbu dulu). Vani menjerit-jerit kesenangan. Kebahagian melandanya hingga ia maju dan hendak merengkuh badanku.
“Eit, tunggu dulu Non… jangan terlalu cepat sayang”, aku menjauh dan menyiksanya, biar nanti jg tahu rasanya multi orgasme.
Nafas Vani yg memburu dan keringat mengucur deras dari pori-porinya cukup kurasa. Aku bangkit dan pergi ke dapur kecil minum segelas air dingin.
“Jaaahat Beni… jahaat…” kudengar seruannya.
Saat aku balik, tubuhnya menggigil dan tangannya tak henti merangsang kewanitaanya. Aku benci hal itu, dan kutepis tangannya,
“Sini… biar aku…” Aku kembali ke arah wajahnya dan kupagut bibirnya yg merah itu dan kami bersilat lidah dengan semangat menggebu-gebu. Kuraih tubuh mungilnya dalam pelukanku dan kutindih pinggulnya dengan badanku.
“Uugh…” dia merintih di balik ciuman kami. Kedua bibir kami saling melumat dan menggigit dengan lincahnya, seolah saling berlomba.
Birahi dan berbagai gejolak perasaan mendesak sangat dahsyat. Sangat intensif menggedor-gedor seluruh syaraf kami utk saling merangsang dan memuaskan sang lawan. Kejantananku minta perhatian dan mendesak-desak hingga permukaannya penuh dengan guratan urat yg sangat sensitif. Duh… saatnya kah? aku bimbang sejenak namun kubulatkan tekadku dan dengan segera aku menjauh dari Vani. Tanpa disuruh lagi Vani meregangkan kedua pahanya dan menyambut kesediaanku dengan segenap hati. Punggungnya membusur dan bersiap. Sementara aku menyiapkan penisku dan membimbingnya menuju ke pasangannya yg telah lumer licin oleh cairan kewanitaannya.
Oh my God… sensasi yg saat itu kurasakan sangat mendebarkan, saat-saat pertamaku. Gigitan bibir bawah Vani menunjukkan ketdksabarannya dan dengan kedua betisnya dia mendesak pinggulku utk bergerak maju ke depan. Akhirnya keduanya menempel. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke klitorisnya dan Vani meraung, masa sih begitu sensasional? Biasa sajalah. Kudesak ke depan perlahan (aku tahu ini merupakan hal pertama bagi dia jg) sial… mana muat? Ah pasti muat. Kusibakkan dengan kedua jemariku sambil pinggulku mendesak lagi dengan lembut namun mantap. Membelalak Vani ketika penisku telah menyeruak di antara celah kewanitaannya.
Sambil matanya mendelik, menahan nafas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Vani membimbing dengan memegang penisku, “Hmm… Ben? jangan ragu sayang…” Dengan mantap aku menghentakkan pinggulku ke depan agar Vani menjerit. Loh sepertiganya telah amblas ke dalam. Hangat, basah, ketat sangat sensasional. Pinggang kugerakkan ke kiri dan ke kanan.
Sementara Vani kepedasan dan air matanya sedikit mengintip dari ujung matanya yg berbinar indah itu.
“Kenapa sayang?” tanyaku.
“Nggak pa-pa Ben… terusin aja sayang… Aku adalah milikmu, semuanya milikmu…”
“Sungguh…”
Aku tahu pastilah mengharukan bagi gadis manapun meski sebandel Vani, apabila kehilangan keperawanannya. Maka utk menenangkannya aku merengkuh tubuhnya dan kuangkat dalam pelukan, proses itu membuat penisku semakin dalam merasuk ke dalam Vani. Dia mendelik keenakan, matanya yg indah merem melek dan bibirnya tak henti mendesah,
“Ben sayaaang… ugh nikmatnya.” Saat itu aku sedang memikirkan Ibu Asna.
Aneh, mili demi mili penisku menghujam deras ke dalam diri Vani dan semakin dalam serta setiap kali aku menggerakkan pinggulku ke kiri dan ke kanan sekujur tubuh Vani bergetar, bergidik menggelinjang keras, lalu kudesak ke dalam sambil sesekali kutarik dan ulur. Vani menjerit keras sekali dan kubungkam dengan ciumanku, glek… kalau ketahuan ibu kost-nya mampus kami. Aku tak menygka sedemikian ketatnya kewanitaan Vani, hingga penisku serasa digenggam oleh sebuah mesin pemijat yg meski rapat namun memberikan rasa nyaman dan nikmat yg tak terkira. Pelumasan yg kulakukan telah cukup sehingga kulit permukaannya kuyakin tdk lecet sementara perjalanan penisku menuju ke akhirnya semakin dekat. Hangat luar biasa, hangat dan basah menggairahkan, tulang-tulangku seakan hendak copot oleh rasa ngilu yg sangat bombastis. Perasaan ini rupanya yg sangat diimpikan berjuta pria.
“Eh… Vani sayang… kasihan kau, kelihatan sangat menderita, meski aku tahu dia sangat menikmatinya”. Wajahnya bergantian mengerenyit dan membelalak hingga akhirnya telah cukup dalam, kusibakkan liang kemaluan Vani-ku tersayang dengan penisku hingga bersisa sedikit sekali di luarnya.
Vani merintih dan membisikkan kata-kata sayang yg terdengar bagai musik di telingaku. Aku mendenyutkan penisku dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan bersentuhan dengan hampir seluruh permukaan dalam rahimnya, mentokkah? Berbagai tonjolan yg ada di dalam lubang memeknya kutekan dengan penisku, hingga Vani akan menjerit lagi, namun segera kubungkam lagi dengan ciuman yg ganas pada bibirnya.
Kutindih dia, kutekan badannya hingga melesak ke dalam kasur yg empuk dan kusetubuhi dirinya dengan nafsu yg menggelegak. Dengan mantap dan terkendali aku menaikkan pinggulku hingga kepala penisku nyaris tersembul keluar. Ugh, sensasinya dan segera kutekan lagi, oooh pergesekan itu luar biasa indah dan nikmat. Gadis seksi yg ranum itu merem melek keenakan dan ritual ini kami lakukan dengan tenang dan santai, berirama namun dinamis. Pinggulnya yg montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertempuran hingga segalanya makin intens ketika sesuatu yg hangat mengikuti kontraksi hebat pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas penisku, serta ditingkahi bulu mata Vani yg bergetar cepat mendahului aroma orgasme yg sedang menjelangnya. Aku pernah membaca hal ini.
“Shhs sayang Vani… jangan dulu ya sayang ya…”
“Shhh… Beni… nggak tahan aku… Beennn… shhhh…”
“Cup cup… kalem sayang…” kukecup lembut matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya.
Vani mereda, aku berhenti.
“Beni… kamu tega ih…” Vani cemberut sambil menarik-narik bulu dadaku.
“Sshhh sayangku… biar aja, entar kalau udah meledak pasti nikmat deh… minum dulu yuk sayang…”
Aku menarik keluar penisku, aku tak mau Vani tumpah, meski demikian saat aku menarik penisku, ia memelukku dengan kencang hingga terasa sakit menahan sensasi luar biasa yg barusan dia rasakan. Kalian para pembaca wanita yg pernah bercinta pasti pernah merasakan hal itu. Sembari minum aku menarik nafas panjang dan meredakan pula gejolak nafsuku, aku mau yg pertama ini jadi indah utk kami berdua. Sial, ingatanku kembali melayg ke Ibu Asna. Apa yg sekarang dia lakukan? Bagaimana keadaan dia? Ah urusan besok sajalah. Dengan melompat aku merambat naik lagi ke tubuh Vani yg sedang tersenyum nakal.
“Minum sayang…” dia memberengut dan minum dengan cepat.
“Ayo Beni… jangan jahat dong…”
Dengan satu gerakan cepat aku menyelipkan diri di antara kedua kakinya seraya membelainya cepat dan meletakkan penisku ke perbukitan yg ranum itu. Cairan putih yg kental terlihat meleleh keluar.
Kusibakkan kewanitaannya, dan dengan cepat kutelusupkan penisku ke dalamnya. Ugh, berdenyut keduanya masuklah ia, dengan mantap kudorong pinggulku mengayuh ke depan. Vani pun menyambutnya dengan suka cita. Walhasil dengan segera dia telah masuk melewati liang yg licin basah dan hangat itu ke dalam diri Vani dan bersarang dengan nyamannya. Maka dimulailah tarian Tango itu. Menyusuri kelembutan beledu dan bagai mendaki puncak perbukitan yg luar biasa indah, kami berdua bergerak secara erotis dan ritmis, bersama-sama menggapai-gapai ke what so called kenikmatan tiada tara. Gerakan batang kejantananku dan pergesekannya dengan ‘diri’ Vani sungguh sulit digambarkan dengan kata-kata. Kontraksi yg tadi telah reda mulai lagi mendera dan menambah nikmatnya pijatan yg dihasilkan pada penisku. Tanganku menghentak menutup mulutnya saat Vani menjerit keras dan melenguh keenakan. Lama kutahan dengan mencoba mengalihkan perhatian kepada berbagai subyek non erotis.
Aku tiba-tiba jadi buntu, Yap… Darwin, eksistensialist, le corbusier, pilotis, doppler, dan Thalia. Hah, Thalia yg seksi itu loh. Duh… kembali deh ingatanku pada persetubuhan kami yg mendebarkan ini. Ah, nikmati saja, keringat kami yg berbaur seiring dengan pertautan tubuh kami yg seolah tak mau terpisahkan, gerakan pinggulnya yg aduhai, aroma persetubuhan yg kental di udara, jeritan-jeritan lirih tanpa arti yg hanya dapat dipahami oleh dua makhluk yg sedang memadu cinta, perjalanan yg panjang dan tak berujung.
Hingga desakan itu tak tertahankan lagi seperti bendungan yg bobol, kami berdua menjerit-jerit tertahan dan mendelik dalam nikmat yg berusaha kami batasi dalam suatu luapan ekspresi jiwa. Vani jebol, berulang-ulang, berantai, menjerit-jerit, deras keluar memancarkan cairan yg membasahi dan menambah kehangatan bagi penisku yg jg tengah meregang-regang dan bergetar hendak menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan perubahan cepat pada denyutan liang memeknya yg hangat dan ketat menjepit penisku. Akh, aku tak tahan lagi.
Di detik-detik yg dahsyat itu aku mengingat Tuhan, dosa, dan Ibu Asna yg telah aku kecewakan, tp hanya sesaat ketika pancaran itu mulai menjebol tak ada yg dibenakku kecuali… kenikmatan, lega yg mengawang dan kebahagiaan yg meluap. Aku melenguh keras dan meremas bahu dan pantat sekal Vani yg jg tengah mendelik dan meneriakkan luapan perasaannya dengan rintihan birahi. Berulang-ulang muncrat dan menyembur keluar tumpah ke dalam liang senggama sang gadis manis dan seksi itu.
Geez… nikmat luar biasa. Lemas yg menyusul secara tiba-tiba mendera sekujur tubuhku hingga aku jatuh dan menimpa Vani yg segera merangkulku dan membisikkan kata-kata sayang.
“Enak sekali Beni, duh Gusti…” Aku menjilati lehernya dan membiarkan penisku tetap berbaring dan melemas di dalam kehangatan liang kewanitaannya (ya ampun sekarang pun aku mengingat kemaluan Vani dan aku bergidik ingin mengulang lagi).
Denyut-denyut itu masih terasa, membelai penisku dan menidurkannya dalam kelemasan dan ketentraman yg damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Vani dengan gemas. Vani membalas menjewer kupingku, meski masih dalam tindihan tubuhku.
“Beni sayang… kamu bandel banget deh… gimana kalau Rian tahu nanti Ben…”
“Iya… dan gimana Vina-ku ya?” dalam hatiku.
Ironisnya lagi, kami selalu melakukannya berulang-ulang setiap ada kesempatan. Bagai tak ada esok, dengan berbagai gaya dan cara tak puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di kasur, di bath tub, bahkan di kedinginan malam teras belakang paviliun sambil tertawa cekikikan. Rasa khawatir ketahuan yg diiringi kenikmatan tertentu memacu adrenalin semakin deras, yg segalanya membuat gairah.
Tak kusangka kami terkuras habis, lelah tak tertahan namun pagi telah menjelang dan aku harus bertemu dengan Ibu Asna. Aku bergerak melangkah menjauhi tempat tidur meskipun dengan lutut lemas seperti karet dan tubuhku limbung. Kamar mandi tujuanku. Segera saja aku masuk ke dalam bath tub dan mengguyur sekujur tubuh telanjangku dengan air dingin. Brrr… lemas yg mendera perlahan terangkat seiring dengan bangkitnya kesadaranku. Sambil berendam aku mengingat kembali kilatan peristiwa yg beberapa hari ini terjadi.
Semenjak saat itu asistensiku dengan Ibu Asna berlangsung beku, dan dia terlihat dingin sekali, sangat profesional di hadapanku. Beliau kembali memangilku dengan anda, bukan panggilan manja Beni lagi seperti dulu. Aku serba salah, tdk sadarkah dia kalau aku pulang malam itu karena menghormati dan menyayginya? Hingga dua hari menjelang sidang akhir, dan keadaan belum membaik, gambarku selesai namun belum mendapat persetujuan dari Bu Asna. Kuputuskan utk berkunjung ke rumahnya, meski aku tak pasti apakah Pak Indra ada di sana atau tdk.
Hari itu mobilku dipinjam oleh teman dekatku, sementara siangnya hujan rintik turun perlahan. Ugh, memang aku ditakdirkan utk gagal sidang kali ini. Bergegas kucegat angkot dan dengan semakin dekatnya kawasan tempat tinggal beliau, semakin deg-degan debar jantungku. Kucoba mengingat seluruh kejadian semalam saat aku dan Vani bercinta utk kesekian kalinya, utk mengurangi keresahanku.
Aku turun dari angkot dalam derasnya hujan dan dengan sedikit berlari aku membuka gerbang dan menerobos ke dalam pekarangan. Basah sudah bajuku, kuyup dan bunga Aster yg kubawakan telah tak berbentuk lagi. Kubunyikan bel dan menanti. Bagaimana kalau beliau keluar? bagaimana kalau Pak Indra ada di rumah? dan beratus what if berkecamuk sampai aku tak menyadari kalau wajah jelita dan tubuh molek Ibu Asna telah berdiri beberapa meter di depanku. Saat aku sadar senyumnya masih dingin, tp ada rasa kasihan terbesit tampak dari wajah keratonnya yg selama ini selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Aku hanya bisa menyodorkan bunga yg telah rusak itu dan berkata,
“Maafkan saya…”
Tubuhku yg menggigil kedinginan dan kuyup itu sepertinya menggugah rasa iba di hati beliau dan aku mendapati beliau tersenyum dan berkata,
“Sudah Beni, cepat masuk, ganti baju sana… dua hari lagi kamu sidang loh… entar kalau sakit kan Ibu jg yg repot.” Uuugh, leganya beban ini telah terangkat dari dadaku, dan aku menghambur masuk.
“Maaf Bu, saya basah kuyup.” Beliau masuk ke dalam dan segera membawakan handuk utkku.
“Sana ke kamar dan ganti baju gih, pake aja kaus-kaus Bapak.” KubeAsnakan diri, mendoyongkan tubuh dan mengecup keningnya, “Terima kasih banyak Bu…” Sang ibu sedikit terperangah dan kemudian menepis wajahku.
“Sudah sana, masuk… ganti baju kamu.” Dengan sedikit cengengesan aku masuk ke dalam dan mengeringkan tubuhku, dan mengganti baju dengan kaus yg sungguh pas di badanku.
Segera aku keluar dan mencari Ibu Asna. Beliau sedang berada di dapur mencoba membuatkan secangkir teh panas utkku. Aduuh, aku sedikit terharu. Dengan beringsut aku mendekatinya dan merangkul beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepis tubuhku dan menjauh.
“Beni… kamu pikir kamu bisa seenaknya saja begitu.” Aku terdiam.
“Saya minta maaf Bu, waktu itu saya pergi karena Beni tak sanggup Bu… Ibu, orang yg paling saya hormati dan sayangi, mungkin Beni butuh waktu, Bu…” sambil berkata demikian aku mendekatinya dan memegang pundak kanan beliau dan memberi sedikit pijatan lembut. Beliau tergetar dan tampak sedikit melunak.
Aku mendekat lagi, “Ibu mau maafin Beni?” sambil kutatap tajam matanya, kemudian perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajah ayu sang ibu.
“Tp Ben…”
Beliau kelihatan bingung, namun kecupan lembutku telah bersarang lembut pada keningnya. Kurengkuh Asna yg ranum itu dalam pelukanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yg merah merekah itu. Nafas Asna sedikit memburu dan bibirnya merekah terbuka.
Semula sedikit pasif ciuman yg kuterima, kemudian lidahku menelusup ke dalam dan menyentuh giginya yg putih, mencari lidahnya. Getar-getar yg dirasakannya memaksa Asna utk memerima lidahku dan saling bertautlah lidah kami berdua, menari-nari dalam kerinduan dan rasa sayang yg sulit dimengerti. Bayangkan beliau adalah dosenku yg kuhormati, yg meskipun cantik jelita, putih dan mempesona menggairahkan, namun tetap saja adalah orang yg seharusnya kujunjung tinggi.
“Jangan di sini Ben, Fitri bisa datang kapan saja.”
Kutebak Fitri adalah nama pembantu mereka.
“Bapak?”
“Ah biarkan saja dia”, kata dosen pujaanku itu.
Ditariknya tanganku ke arah kamarnya yg mereka rancang berdua.
“Buu… Bapak di mana?”
Wanita matang yg luar biasa cantik itu berbalik bertanya, “Kenapa, kamu takut? Pulang sana, kalau kamu takut.”
Ah, kutenangkan hatiku dan yakin dia pasti jg tdk akan membiarkan ada konfrontasi di rumah mereka. Jadi aku medahului Asna (sekarang aku hanya memanggil beliau dengan nama Asna atas permintaannya. Di samping itu, Asna pun tak berbeda jauh umur denganku) dan dalam satu gerakan tangan, Asna telah ada dalam pondonganku, kemudian kuciumi wajahnya dengan mesra, lehernya, dan sedikit belahan di dadanya. Menjelang dekat dengan tempat peraduan, Asna kuturunkan dan aku mundur memandanginya seperti aku memandanginya saat pertama kali. Semula Asna sedikit kikuk.
“Kenapa? Aku cantik kan?”
Asna bergerak gemulai seolah sedang menari, duh Gusti… cantik sekali. Ia mengenakan daster panjang berwarna light cobalt yg menerawang.
Kupastikan Asna tdk mengenakan apa-apa lagi di baliknya. Payudaranya bulat dan penuh terawat, pinggulnya selalu membuat para mahasiswi iri bergosip dan mahasiswa berdecak kagum. Aku sekonyong-konyong melangkah maju dan dengan lembut kutarik ikatan di belakang punggungnya, hingga bagaikan adegan slow motion daster tersebut perlahan jatuh ke lantai dan menampilkan sebuah pemandangan menakjubkan, luar biasa indah. Tubuh telanjang Ir. Asna yg menggairahkan. Tanpa tunggu lebih lama aku kembali melangkah ke depan dan kami berpagutan mesra, lembut dan menuntut.
Mendesak-desak kami saling mencumbu. Ciuman terdahsyat yg pernah kualami, sensasinya begitu memukau. Lidahnya menerobos bibirku dan dengan penuh nafsu menyusuri permukaan dalam mulutku. Bibirnya yg mungil dan merah merekah indah kulumat dengan lembut namun pasti. Impian yg luar biasa ini, saat itu aku bahkan hendak mencubit lengan kiriku utk meyakinkan bahwa ini bukanlah mimpi. Asna melucuti pakaianku dan meloloskan kaosku, sambil sesekali berhenti mengagumi gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yg cukup bidang dan perutku yg rata karena sering didera push-up.
Kami berdua sekarang telanjang bagai bayi. Ada sedikit ironi pada saat itu, dan kami berdua menyadarinya dan tersenyum kecil dan saling menatap mesra. Aku menggenggam kedua tangannya dan mengajaknya berdansa kecil, eh norak tp romantis. Asna tergelak dan menyandarkan kepalanya ke dadaku dan kami ber-slow dance di sana, di kamar itu, aku dan Asna, tanpa pakaian. Penisku tanpa malu-malu berdiri dengan tegaknya, dan sesekali disentil oleh tangan lentik Asna. Dengan perutnya ia mendesak penisku ke atas dan menempel mengarah ke atas, duh ngilu namun sensasional.
Saat itu cukup remang karena hujan deras dan cuaca dingin, namun rambut Asna yg indah tergerai wangi tampak jelas bagiku. Kucium dan kubelai rambutnya sambil kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yg selalu dibalasnya dengan… gombal, bohong dan cekikikan yg menggemaskan. Aku semakin sayang padanya.
Ah, aku tak tahan lagi. Kudesak tubuh Asna ke arah pinggiran peraduan, kubaringkan punggungnya sementara kakinya tergolek menjuntai ke arah lantai. Aku berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki jenjangnya yg mulus. Dan mulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sambil kupegang dengan lembut, kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan dari bawah hingga ke arah pahanya. Pada pahanya yg putih mulus aku melakukan gerakan berputar dengan lidahku. Asna merintih kegelian.
CERITA SANGEK
“Ben, it feel so good, aku pengen menjerit jadinya…” Saat menuju ke kewanitaannya yg berbulu rapi dan wangi, aku menggunakan kedua tanganku utk membelai-belai bagian tersebut hingga Asna melenguh lemah.
Lalu sambil menyibakkan kedua labianya, aku menggigit-gigit dan menjepit klitorisnya yg tengah mendongak, dengan lembut sekali. “Aduuuh Ben, aku sampai sayang…” Sejumlah besar cairan kental putih meluncur deras keluar dari dalam liang kewanitaaannya dan dengan segera aroma menyengat merasuk hidungku. Dengan hidungku aku mendesak-desak ke dalam permukaan kewanitaannya. Asna menjerit-jerit tertahan.
“Beniiii… nggghh… Ben… aduhh…” Asna sontak bangkit meraih dan meremas rambutku kemudian semakin menekannya ke dalam belahan dirinya yg sedang menggelegak.
Kuhirup semua cairan yg keluar dari-nya, sungguh seksi rasanya. Aku mengenali wangi pheromone ini sangat khas dan menggairahkan. Asna-ku tersayang jg menyukainya, sampai menitikkan sedikit air mata. Aku naik ke atas dan menenangkan kekasih dan dosenku itu. Dengan wajah penuh peluh Asna tetaplah mempesona.
“Aduh Ben, Asna udah lama nggak banjir kayak gitu… mungkin perasaan Asna terlalu meluap ya sayang ya…” Dengan manja ibu yg sehari-harinya tampil anggun itu melumat bibirku dan menciumi seluruh permukaan wajahku sambil cekikikan.
Aduuuh, aku sayang sekali sama dosenku yg satu ini. Kudekap Asna dalam pelukanku erat demikian jg dibalasnya dengan tak kalah gemasnya, sehingga seolah-olah kami satu.
Aku ingin begini terus selamanya, mendekap wanita yg kusayangi ini sepanjang hayatku kalau bisa, tp nuAsnaku berbisik bahwa aku tdk dapat melakukannya. Akhirnya kuliahku telah usai dan nilai yg memuaskan telah kuraih, wisuda telah lama lewat, dan sekarang aku telah menjadi entrepeneur muda.