PornDewasaX3 - Aku yang sudah menikah dan sebentar lagi memasuki umur yang ke 26 tahun aku sudah setahun menikah, tapi aku akan berbagi pengalaman dengan mantan aku namanya Okta, secara singkat diskripsi tentang diriku kulitku putih wajah oriental dengan tinggi tubuh 172 cm rambut hitam lurus, rambutku aku selalu kuncir keatas supaya menjadi perhatian yang melirik kearahku, dengan mata bulat, dan hidung mancung, pinggul yang aduhai, pokoknya jika pembaca melihatku, pasti akan melotot. Dijamin!!
Hari ini aku kuliah sampai jam 11.00, di tengah teriknya mentari kota ini, aku berjalan bergegas, menyeberangi Jalan Merdeka, aku menuju ke Purnawarman, lalu dengan angkot jurusan Ledeng, menuju ke rumahku di kawasan Cipaganti. Rumah yang dibelikan oleh ayahku, yang kutinggali bersama seorang adik, dan 3 orang dayang.
Okta pacarku, adalah seorang mahasiswa fakultas teknik dari Universitas yang sama, tapi lokasi kampusnya beda denganku. Beberapa tahun kemudian, lokasi kampusku kemudian dipindahkan.
Hari ini, seperti biasanya, selesai kuliah Okta datang, Sekitar pukul 13.00, Okta datang, kami duduk di depan TV. Tidak lama berselang saat para dayang beristirahat di kamar mereka, tangan Okta meraih bahuku dan menarik tubuhku sehingga rebah di pangkuannya.
Bibir kami lalu saling berpagutan, tangannya menjelajahi dadaku. Menelusup ke bawah dasterku, meremas payudara kiri dan kanan bergantian.
“Kau merokok lagi yah?” tanyaku.
“Tidak, tadi di kampus, anak-anak merokok semua, jadi bajuku juga bau asap!” elaknya.
“Kenapa mulutmu bau rokok juga?”
“Ah.. Tidak apalah kalo cuma sebatang!” jawabnya, langsung menyergap bibirku kembali.
Saat bibirnya mulai menjelajah turun ke leherku, aku semakin tak tahan, tangannya menarik Bra-ku ke atas, sehingga tangannya langsung menyentuh kulit buah dadaku. Diputar-putarnya pentilku bergantian. Kemaluanku mulai becek, batang kemaluan Okta terasa mengeras di punggungku, mengganjal.
Saat rasa gatal di kemaluanku memuncak, aku bangkit, dan mengatur posisi tubuhku menjadi merangkak membelakangi Okta yang duduk bersandar. Tangan Okta, meremas bola pantatku, yang sebelahnya merayap masuk melalui bagian bawah rokku.
Tangannya merayap di pahaku, meremas dengan liar, menambah perasaan nikmat. Kugoyangkan pinggulku meminta perhatian tangannya agar cepat membelai kemaluanku yang gatal. Saat yang ditunggu tiba, tangannya merambat perlahan di tepian karet celanaku, berputar-putar, menambah gairahku.
“Oh.. Sayang..” desisan keluar dari sudut bibirku.
Perasaan was-was agar tidak terdengar oleh para dayang timbul. Okta semakin liar, kain segitiga itu ditariknya, dan dengan bantuanku, diloloskan melalui sepasang kaki panjangku. Tangannya membelai lembut vaginaku, membuatku semakin melebarkan jarak antara kedua pahaku. Sangat asyik menikmati pekerjaan tangannya, membelai dan sesekali meremas dan mencubit bibir vaginaku.
“Auw.. Sayang..” Aku menjerit ketika tiba-tiba terasa hangat dan basah menyentuh selangkanganku, rupanya Okta mulai menggunakan mulutnya. Napasnya terasa keras di daerah duburku, lidahnya menyentuh, dan merangsek ke vaginaku. Sesekali dengan keras menyelinap ke celah sempit selangkanganku.
Aku semakin menggila saat tangannya menyergap payudaraku yang tergantung dibalik daster. Terasa textur kain, dikombinasikan dengan pijatan lembut pada putingku, ingin rasanya aku menjerit. Satu hal yang kusuka pada Okta, adalah kebiasaannya mencukur kumis dan jenggotnya sekali dalam seminggu, saat ini terasa mulai tumbuh, dan digesek-gesekkan seputar bola pinggulku. Terasa seperti amplas, menggaruk lembut seputaran bokongku.
Vaginaku terasa basah, bercampur liur dan cairan syahwatku, Okta jelas menikmati cita rasa cairan itu, bahkan cenderung ketagihan. Saat aku sedang terbuai nikmatnya oral sex, tiba-tiba terdengar pintu pagar dibuka orang. Aku bergegas menurunkan dasterku, dan kembali mengambil posisi duduk di samping Okta, menonton film di HBO, yang entah apa judulnya.
Ternyata adikku pulang, seketika itu juga, seorang dayang bangun, membuka pintu dan mengambil tas kuliahnya. Yuly, sebut saja demikian, adikku bungsu dari 4 bersaudara, selisih 1 tahun denganku. Kuliah di universitas yang sama dengan kami, namun beda fakultas.
Kampusnya selokasi dengan Okta, Yuly melintasi kami dan menuju ke ruang makan. Melihat potensi ancaman yang semakin besar, Okta mengajakku relokasi menuntaskan pekerjaan kami. Aku berdiri, dan menuju ke kamarku.
Okta tidak beranjak, matanya menatap TV, seolah asyik mengikuti jalan cerita film tersebut. Padahal aku yakin, tak ada sepotong ceritapun yang bisa nyangkut di otaknya. Saat aku selesai berganti pakaian, aku menarik tangan Okta, seolah memaksanya bangun.
“Kau mau kemana?” Yuly bertanya dari arah dapur.
“Mau ke Palasari, cari textbook!” jawabku.
“Aku mau titip donk!” Yuly bangkit dari meja makan.
“Nggak ah, nanti salah! Mendingan kau barengan teman-temanmu”
“Malas saya, nggak tahu dimana Palasari!” Balas Yuly.
Memang Yuly barusan beberapa Minggu tinggal di Bandung, setelah menyelesaikan SMU. Sedangkan aku telah setahun lebih. Aku menunjukkan keenggananku dititipi buku, soalnya kami sama sekali tidak berminat ke Palasari. Hanya sekedar alasan untuk keluar rumah.
“Masih panas, sorean lagi deh.” Okta berkata, tetapi dari matanya memberikan isyarat.
“Nggak ah, nanti tidak sempat memilih.”
Aku memberikan alasan, seraya menarik tangannya. Dengan memasang tampang seolah masih asyik menonton, Okta, meraih remote dan mematikan TV. Saat kami berjalan menyusuri gang sepi, kutarik tangan Okta, yang memegang tanganku dan meletakkannya di dadaku. Dengan liar Okta langsung meremas lembut, menaikkan nafsuku yang sempat tenggelam tadi.
“Hehe belum kapok yah, tadi hampir aja ketangkap!” Okta berkata lirih.
“Gimana donk, pengen banget nih!” kilahku.
“Lihat nih!” Okta merogoh kantongnya, menarik secarik kain, dan ternyata celana dalamku.
“Tadi kau ke kamar nggak sekalian dibawa sih?” Tanya Okta.
Saat itu sebuah angkot berhenti di depan kami. Aku naik dan seperti biasa mengambil posisi di belakang sopir. Posisi teraman, saat itu angkot dalam keadaan kosong dan berhenti menunggu penumpang di Jalan Cipaganti.
Lima belas menit menunggu tanpa hasil, Angkotnya jalan, kutarik tangan kanan Okta, kuletakkan di pahaku dan kututupi dengan tas. Tangan itu langsung meraba dan menggesek vaginaku dari luar celana.
Dengan menampilkan mimik sebiasa mungkin, sehingga sopir angkot tak akan menyangka apa yang terjadi di bawah sana. Tak berapa lama, angkot kembali berhenti di depan Ny. Suharti, menaikkan 2 orang. Aku agak kecewa, berarti selama perjalanan berikutnya akan terasa garing dan panas.
Di depan kampus, kedua orang itu turun, kami melanjutkan perjalanan, sekitar 50 meter, lalu turun dan berjalan kaki ke kost Okta. Kost Okta, sebuah tempat kost kelas menengah bawah, 60 kamar, terletak di belakang kampus, campur pria dan wanita.
Saat memasuki aula tengah, tampak beberapa mahasiswa teman Okta sedang main kartu, beberapa lembar seribuan di tengah meja, 5 orang pemain dan tampak 3 orang komentator. Okta memberikan kunci kamarnya kepadaku, dan berbincang sejenak dengan para penjudi sambil sesekali mengomentari permainan.
Aku masuk ke kamar Okta, yang agak berantakan, lembaran kertas penuh gambar, beberapa penuh tulisan angka berserakan di lantai kamar. Jendela kamar yang dilapisi kertas hitam membuat cahaya matahari sulit tembus.
Sayup-sayup masih terdengar suara mereka di ruangan tengah. Meskipun berjarak sekitar 10 meter dari kamar ini, tetapi keriuhan yang ditimbulkan masih terasa. Gairahku bangkit saat terdengar suara langkah khas Okta.
Saat pintu ditutup, kami berpelukan, sambil berciuman, tangan Okta merayap masuk dari bawah kaosku, meremas payudaraku, memencet puting susuku. Lidah yang saling dorong di antara jepitan bibir kami membuatku sungguh melayang, membuat kemaluanku terasa lembab.
Tangan Okta mendorong tubuhku, dan membalik badanku, sehingga aku berdiri membelakanginya. Okta menyelipkan kedua lengannya di ketiakku dam kembali memeluk tubuhku, dan tangannya meraba dadaku dengan leluasa, kali ini kedua tangannya dapat bekerja secara bersamaan.
Memang harus kuakui Okta bertindak tepat, dengan membalik tubuhku, kedua tangannya dapat berkerja dengan bebas, merayap di dadaku, kadang turun meremas kemaluanku dari luar jeansku, sehingga hanya terasa sentuhan ringan. Okta memeluk tubuhku semakin erat, sehingga terasa hembusan napasnya di leherku yang makin membakar birahi.
“Sayang..” Okta berbisik ke telingaku, yang membuatku menoleh, dan langsung terasa bibirku diserbu, kembali ciuman panas berulang.
Kali ini aku tidak bisa terlampau bebas bergerak, karena kedua lengan Okta terasa ketat menjepit badanku. Tanganku hanya dapat kuarahkan ke selangkangan Okta, itupun masih terasa terlampau jauh. Di pantatku terasa ganjalan, disebabkan kemaluan Okta yang telah ‘Erma” (Ereksi Maksimum).
Tangan Okta terasa membuka kancing celanaku, terasa getaran lembut saat tangannya menarik turun retsleting, posisi ini memungkinkan Okta membuka celanaku tanpa menghentikan ciuman kami. Saat telah terbuka, Okta menarik turun celana itu sehingga melewati pinggulku, dan sebelah tangannya menyerbu masuk ke balik celana dalamku, sedangkan yang sebelahnya kembali ke dadaku, meremas-remas payudaraku.
Saat tangannya perlahan mencapai rambut kemaluanku, berputar-putar sebentar di sana, kemudian terus turun mendekati celah kemaluanku dari arah jam 12. Tak ada jari yang menyusup ke celah bibir vaginaku, telapak tangannya terus ke bawah, menaungi kemaluanku, sehingga membuatku makin gelisah.
Aku mengangkat sebelah kakiku, guna melepaskan celana panjangku. Saat aku mengangkat kaki, terasa ada jari yang terpeleset menggesek bibir vagina sebelah dalam. Sebuah sentuhan ringan yang sungguh membuatku makin melayang.
Gesekan itu makin membuatku ketagihan, sehingga aku melakukan ritual melepas celana panjang secara perlahan, sambil menggerakkan pinggulku, berharap ada jari Okta yang kembali tersesat ke jalan yang benar. Sensasi yang sangat indah, sampai sekarang belum kudapatkan dari suamiku, meskipun gaya pacaran kami juga tak begitu bersih, tapi sangat jarang dia mengerjaiku dari belakang, aku ingin memintanya, tapi takut menunjukkan pengalamanku.
Back to story, Okta kali ini menciumi tengkukku, setelah tangannya menyingkirkan rambutku ke depan. Terasa tengkukku dijilat kecil, dan napasnya menghembus anak rambutku. Aku sangat menyukai jilatan di tengkuk, sehingga tanganku meraih rambut panjangku, dan memeganginya di ubun-ubunku.
Ini semakin membuat Okta leluasa menciumi tengkukku, dan meremas buah dadaku. Berulang-ulang jilatannya mengelilingi leherku, sebelah tangan di vaginaku dan sebelahnya lagi dipayudaraku. Sampai akhirnya Okta menghentikan ketiga serangannya, yang memberikanku kesempatan mengatur napasku yang sudah kembang kempis.
Kali ini Okta mengangkat kaosku, dan melepaskannya melalui kepalaku. Setelah terlepas, Okta kembali menciumi tengkukku, dan aku kembali memegang rambutku di ubun-ubun yang tadi terlepas saat Okta menanggalkan bajuku.
Jilatannya lebih bebas berputar, terasa begitu nikmat saat jilatannya bergerak menyusuri tulang belakang turun, diikuti hembusan napasnya yang halus di kulitku. Saat lidahnya terhalang BH, Okta tidak melepasnya, tetapi jilatannya menyusuri tali BH, ke samping tubuhku terus menjilati secara halus naik lagi ke arah pundak, dan kembali turun ke sisi tubuhku.
Tanganku yang memegangi rambut di atas kepalaku, membuatnya semakin mudah menjilati daerah sekitar ketiakku yang selalu tercukur bersih. Sungguh kali ini membuat kedua kakiku tak mampu menyangga bobot tubuhku.
Aku langsung berjalan dan duduk di kasur Okta yang hanya dialas di atas lantai tanpa dipan. Okta melepaskan kaos dan celananya, sehingga tampak kemaluannya membuat celana dalamnya menyembul, ia lalu memungut pakaianku dan menggantungnya di belakang pintu kamar bersama pakaiannya.
Di luar masih terdengar suara para penghuni kost yang masih asyik berjudi. Okta berjalan ke kasur, dan mendorong tubuhku sehingga rebah. Okta menindih tubuhku dan kami kembali berciuman. Kali ini lebih ganas, lidah Okta terasa sangat agresif merangsek ke rongga mulutku, sehingga bisa kusedot dengan sekuat tenaga. Dengan bertumpu pada sikutnya, Okta menggerak-gerakkan pinggulnya menyodok daerah selangkanganku. Aku pun menggerakkan pinggulku untuk menambah sensasi gerakan Okta.
Ciuman Okta kini berubah menjadi jilatan yang menyusuri leherku, turun terus ke arah dadaku, dan kembali ke samping tubuhku. Okta lalu bangkit dan membalik badanku lagi, sehingga aku kini telungkup. Okta melepaskan kait BH-ku dan kini menjilati punggungku sepanjang tulang belakang, membuatku menggigit bibirku guna menahan suara desah kenikmatan yang kurasakan. Aku makin menenggelamkan wajahku ke bantal, tatkala lidah Okta tiba di daerah pinggulku.
Tangannya menurunkan karet celana dalamku dan menciumi daerah sekitar belahan pantatku, yang membuatku mengangkat sedikit pinggulku. Rupanya gerakan otomatis tubuhku itu dimanfaatkan oleh Okta untuk menurunkan celana dalamku sampai sebatas paha, dalam posisi setengah menungging memberikan Okta kesempatan menjilati daerah sensitif yang sangat sempit antara dubur dan vaginaku.
Sungguh sensasional, getaran yang diberikan dari lidahnya langsung menaikkan tegangan birahiku ke titik tertinggi. Energi berupa sentuhan lidah yang sangat ringan diteruskan secara merata dan sama besar ke seluruh jaringan saraf kenikmatanku. Ini menyerupai prinsip kerja Hidrolik, dengan gaya yang kecil dari lidahnya, mampu menghasilkan gaya angkat yang sangat besar yang diteruskan melalui aliran darahku, kebetulan Okta adalah mahasiswa Fakultas Teknik mungkin ini adalah salah satu praktek ilmu yang didapatnya.
Well, setelah mengalami orgasme aku langsung jatuh telungkup, ini membuat akses ke daerah celah sempit di pinggulku tertutup dari serangan Okta, sehingga dia membaringkan dirinya di sampingku, seraya menumpangkan kakinya ke atas pantatku, dan tangannya membelai rambutku dan mengelus punggungku yang agak basah karena jilatan Okta dan keringatku sendiri.
Okta menarik selimut, menutupi tubuh kami berdua, karena memang Bandung pada saat-saat itu dalam masa pancaroba dari musim panas ke musim hujan, sehingga suhu udara sangat dingin dibandingkan dengan bulan-bulan lain dalam setahun.
Saat aku mencoba memulihkan kesadaranku, kurasakan kemaluan Okta yang masih terbungkus celana dalam mengganjal di pahaku, aku menghadapkan wajahku ke arah Okta, yang tampak tersenyum sangat simpatik ke arahku.
“Astaga, enak sekali rasanya, saya tidak akan melupakan saat ini.” Bisikku sambil mengelus pipi Okta.
“Aku juga tidak mau kehilangan waktu untuk menciummu sayang.” Balas Okta dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, cukup dekat sehingga hidungku yang mancung dapat terjangkau oleh lidahnya.
Bibirku bisa menciumi dagunya yang terasa kasar ditumbuhi jenggot pendek. Aku membalikkan tubuhku, sehingga kami berdua saling berhadapan dalam posisi rebahan side by side. Pada saat jeda ini kami biasanya bercakap-cakap, menyatukan perbedaan pikiran, berbagai masalah kuliah, keluarga, bahkan masalah keuangan biasa kami diskusikan. Aku tak ingat masalah yang kami bicarakan saat itu, tapi aku ingat, setiap kali kami selesai bercinta, rasa cinta di dalam hatiku senantiasa bertambah kepadanya.
Tangan Okta meraba-raba buah dadaku, menyentuh-nyentuhkan ujung kukunya di pentil susuku, membuat gairahku bangkit kembali. Tanganku merambat menyusuri dadanya, dan perutnya yang ditumbuhi rambut yang cukup lebat.
Aku merapatkan tubuhku, sehingga kami dapat saling berciuman. Kali ini tanganku merogoh celana dalam Okta dan mengelus batang kemaluannya dan juga kedua buah pelirnya. Sambil terus berciuman, aku mendorong tubuhnya hingga telentang, dan kutindih dadanya dengan sebagian tubuhku, sehingga tanganku dapat dengan leluasa bermain dengan kejantanannya. Aku terus memagut bibirnya, dan perlahan turun ke dadanya, dan ke puting.
“Terbalik sayang.” Okta berkata.
“Terbalik apa?” Aku heran dan bertanya.
“Mestinya saya yang netek, bukan kau!” katanya sambil mendorong tubuhku hingga rebah.
Tidak kuat melawan tenaganya, sehingga aku hanya rebah tak berdaya. Okta menindih tubuhku, dan menyedot puting susuku. Dan sangat efektif untuk membangkitkan gairahku. Segera terasa cairan di liang senggamaku, Okta menciumi dadaku dan melempar selimut yang menutupi tubuh kami. Saat itu tak kusia-siakan, aku bangkit dan menduduki perutnya, kusodorkan dadaku ke mulutnya, sehingga Okta langsung rebah telentang.
Tanganku meraba ke bawah, mengocok kemaluannya yang telah keras. Sedotan Okta di puting susuku terasa melambungkan gairahku. Aku lalu turun dan melepaskan celana dalamku dan membantu Okta melepaskan celana dalamnya.
Melihat penisnya yang Erma, aku langsung menciumi batang itu, menjilati sepanjang batangnya, berputar-putar di kantung pelirnya, sambil sebelah tanganku merayap di perutnya. Saat aku memasukkan batang kemaluannya ke rongga mulutku, terdengar desah Okta seperti baru melepaskan beban di pundaknya.
“Oh.. Enak sekali Yang.” Suara Okta terdengar lirih, sambil tangannya menyibak rambutku, sehingga ia dapat memandang mulutku yang sedang mengulum kemaluannya.
Menatap matanya yang keenakan, menambah semangatku dan makin mempercepat gerakan kepalaku, dan menambah kuat sedotan mulutku. Kadang kuselingi dengan permainan lidah di dalam mulutku, menjilati kepala penisnya.
Saat kutarik hingga hanya kepalanya penisnya tersisa di mulutku, lidahku kugerak-gerakkan seolah sedang berciuman. Kulihat Okta tidak mampu bersuara, hanya mulutnya yang terbuka, mencoba menghirup lebih banyak oksigen.
Okta adalah pria pertama yang kuoral, meskipun keperawananku bukan kuserahkan padanya. Nanti akan kuceritakan saat hilangnya keperawananku, juga bagaimana aku memperoleh kepuasan dari kakakku.
“Sini sayang, aku ingin mencium memekmu.” Okta berkata.
Aku berputar, sehingga selangkanganku berhadapan dengan wajahnya. Kami berposisi 69, dan masing-masing melakukan kegiatan sendiri. Saat lidah Okta menyapu vaginaku, aku langsung melayang, terasa Okta menyapu semua cairan vaginaku, membersihkan semua lendir di celah vaginaku. Sangat nikmat terasa, membuatku semakin liar mengulum penisnya.
Penis Okta berukuran normal pria Indonesia, tampak gagah tersunat rapi. Ini yang membuatku sangat menikmati oral sex, ini merupakan penis bersunat pertama yang kudapatkan, dengan lelaki sebelumnya belum kutemukan. Aku sangat menikmati setiap kontur penis Okta, dengan menggerakkan lidahku mengitari palkon, menelusuri setiap titik di bagian itu membuatku semakin tergila-gila pada benda itu.
Dengan sedikit mengerahkan tenaga karena harus melawan arah natural penis itu. Setiap kali penis itu terlepas dari jepitan bibirku, langsung terpental seolah terbuat dari bahan elastis. Okta melipat lututnya, sehingga kepalaku berada di tengah kedua pahanya, dengan kedua tanganku aku menahan posisi pahanya agar tidak mengurangi daerah pergerakan kepalaku.
Sementara di arah yang berlawanan, terasa sangat nikmat Okta menjilati itilku, sementara tangannya masuk ke liang senggamaku, bergerak keluar masuk terlalu nikmat untuk dideskripsikan di sini.
Tak mau ketinggalan, aku pun mengeluarkan kemampuan oral terbaikku, kujilati sepanjang urat besar di bagian bawah batang penis Okta, dan kuteruskan sampai ke pelernya, tidak hanya sampai di situ, lidahku terus ke arah duburnya, menjilat dengan liar, tampak menunjukkan hasil, Okta menggerakkan pinggulnya ke atas, membuat lidahku bisa semakin jauh menjelajahi daerah selangkangannya.
“Sayang, masukin..” kata Okta.
Aku lalu bangkit, dan mengubah posisiku, kali ini aku berhadapan dengan Okta, dengan bertumpu pada lututku. Kuraih penis Okta dari tangannya yang sedang mengelus, dan langsung kuarahkan ke vaginaku.
Terasa nikmat saat benda itu menerobos masuk secara perlahan, menyusuri celah vaginaku. Kulihat Okta tersenyum, matanya terpejam, kulepaskan tanganku dari batangnya, dan mulai memelintir putingnya.
Okta membuka matanya, dan tangannya meraih payudaraku. Sambil meremas payudaraku, Okta menggerak-gerakkan pinggulnya, memaksa penisnya masuk lebih dalam lagi. Aku juga senantiasa bergerak menyesuaikan gerakan kami berdua. Kadang dengan agak memiringkan tubuhku, sehingga pada saat Okta menarik kemaluannya, sangat terasa gesekan di sisi dalam vaginaku.
Tiba-tiba aku merasakan peningkatan rangsangan, saat Okta mengarahkan jari telunjuknya ke klitorisku, sehingga menguras seluruh pertahananku. Digesek dan ditekan membuat diriku terasa melayang dan kehilangan pijakan.
Tubuhku langsung ambruk seketika, menindih Okta, perubahan posisi ini membuat Okta tidak bebas menggerakkan jemarinya yang terhimpit di antara tubuh kami. Tetapi pinggulnya tetap bergoyang lembut, mengantarkan diriku menikmati detik demi detik puncak kenikmatan seksual.
Setelah melalui orgasme, perlahan gairahku kembali berkobar, dengan goyangan batang penis di tengah jepitan vaginaku. Okta dengan konstan tetap menstimulasi vaginaku dengan batang nikmatnya. Aku mengangkat badanku, dan memutar membelakangi Okta, setelah mengarahkan, penis Okta langsung kududuki, dan menelan habis semua batang penis Okta.
Posisi favoritku, selain doggy style, juga woman on top, sehingga dengan berada di atas dan membelakangi Okta, terjadi kombinasi optimum. Apalagi saat Okta bangkit setengah duduk, dan tangannya menggapai buah dadaku yang ikut bergoyang, menambah sensasi kenikmatan posisi ini.
Tak lama Okta kemudian mendorong tubuhku, dan mengambil alih posisi di atas, dengan napasnya yang menderu, ia menyelipkan penisnya ke vaginaku. Setelah mendiamkan sejenak, Okta mulai bergoyang, lututku ditekuk dan agak diangkat sehingga pinggulku ikut terangkat.
Sebelah tangannya membantu menahan kedua kakiku, sedangkan yang satunya menyerbu klitoris yang kurang mendapat sentuhan pada posisi ini. Kami sering mendiskusikan berbagai posisi, sehingga bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan setiap posisi favorit kami.
Posisi ini adalah favorit Okta, sebab ia bisa melihat dengan jelas bagaimana proses keluar masuk batang penisnya ke vaginaku. Kadang dengan menggunakan jempol dan jari tengahnya ia merapatkan kedua belahan vaginaku, dan jari telunjuknya mengerjai itilku.
Setelah bergoyang beberapa menit, Okta lantas mencabut penisnya, dan mengocoknya dengan tangan, dan segera muncrat spermanya, kental putih dan bau yang khas segera memenuhi ruangan kamarnya itu.
“Ah.. Enak sekali sayangku..” Okta akhirnya mampu mengeluarkan suaranya setelah mengalami ejakulasi.
“Saya selalu mau main denganmu, kapanpun kau mau!” Kataku sambil berusaha membantunya mengocok penisnya.
Ia lalu berbaring di sisiku, dan mengambil kertas tissue. Setelah membersihkan seluruh tumpahan spermanya, ia memelukku dengan erat dan menciumi bibirku. Seluruh badanku terasa lemas, terutama daerah pinggulku, namun di sisi lain, terasa pikiranku fresh.
Sungguh indah kenikmatan seks. Saat kuletakkan kepalaku di dada Okta, dan dibelai dengan lembut, sambil sesekali mencoba mengatur rambutku, saat itu tak terbayangkan bahwa kemudian kami harus putus.
Kami putus setahun setelah Okta lulus kuliah dan pindah ke Jakarta. Meskipun selama periode itu ia sering ke Bandung untuk weekend, tetapi itu saja tak mampu mempertahankan hubungan kami. Aku, seorang wanita bersuami, yang telah memberikan kesetiaan dan kegadisanku kepada orang lain.
Syukurlah suamiku adalah seorang yang tolol, ia sungguh percaya bahwa ia adalah lelaki pertama yang merobek vaginaku. Aku masih selalu membayangkan Okta, terutama saat sedang bersenggama dengan suamiku, dan aku sangat beruntung mendapatkan suami yang cukup tolol, sehingga kecuranganku selama ini bisa kututupi dengan mudah.
Saya percaya bahwa kami bukanlah satu-satunya pasangan mahasiswa yang melakukan hubungan seks, mungkin suamiku juga pernah melakukannya.
Cerita ini mulai saya susun pada tahun 2001, saat aku putus dengan Okta, berusaha sesedikit mungkin mengubah conversation, lokasi tidak saya rinci terlalu jauh. Sekedar mengingat cerita indah di antara kami, sekaligus sebagai tumpahan perasaan sesalku saat menyetujui anjuran orang tuaku untuk memutus hubungan kami.
Biarlah, setidaknya aku berusaha mempertahankan citra diriku sebagai anak yang penurut, juga setidaknya menghapus kecurigaan keluargaku yang meragukan status keperawananku. Pembaca bisa menghubungi saya, melalui penulis, salah seorang e-friends, yang tidak pernah mengetahui ID saya secara jelas. Lebih aman sekiranya kita bercerita kepada seseorang yang tidak kita kenal, sehingga probabilitas bocor bisa mendekati titik nol. Salam.